Beranda | Artikel
7 Hukum Seputar Shalat Sunnah (seri 2)
Minggu, 15 Januari 2012

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masih melanjutkan bahasan kemarin pagi, saat ini kita akan mengangkat hukum seputar shalat sunnah seperti shalat sunnah saat safar dan shalat sunnah secara berjama’ah. Kami pernah mendengar bahwa di sebagian sekolah dirutinkan shalat sunnah secara berjama’ah semisal shalat sunnah Dhuha. Apakah hal ini dibenarkan? Simak saja dalam bahasan berikut.

Ketiga: Shalat sunnah saat safar

Ketika safar dibolehkan melakukan shalat sunnah mutlak (seperti shalat malam dan shalat Dhuha) dan terlarang melakukan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh).

Ibnu ‘Umar berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya menghadap ke arah kendaraan mengarah, beliau berisyarat dengan kepalanya.” Ibnu ‘Umar pun melakukan yang demikian. (HR. Bukhari no. 1105). Sedangkan hadits yang menafikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah saat safar dimaksudkan untuk shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh). Inilah pendapat Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 490).

Yang membuktikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga shalat sunnah fajar pada perkataan ‘Aisyah berikut,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa untuk shalat sunnah selain shalat sunnah fajar.” (HR. Bukhari no. 1169)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1: 298)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar” (Zaadul Ma’ad, 1: 456). Adapun shalat malam (tahajud), shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15: 258).

Keempat: Shalat sunnah secara berjama’ah

Disyari’atkan berjama’ah dalam shalat sunnah selama tidak dijadikan kebiasaan. Namun jika shalat sunnah dilaksanakan sendiri dan di rumah, itu lebih afdhol.

Riwayat ‘Itban bin Malik tersebut memang betul terdapat dalam Fathul Baari sebagai berikut.

مَا رَوَاهُ أَحْمَد مِنْ طَرِيق اَلزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن اَلرَّبِيع عَنْ عِتْبَان بْن مَالِك ” أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ “

Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi’, dari ‘Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. (Fathul Bari, 3: 57)

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”. Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami  para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.” (Fathul Bari, 2: 483)

Imam Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Kami harap para pembaca bisa menelusuri pembahasan lainnya: Hukum Shalat Dhuha secara Berjama’ah.

-bersambung insya Allah-

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Shafar 1433 H

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/2191-7-hukum-seputar-shalat-sunnah-seri-2.html